ELKU

Senin, 31 Oktober 2011

Bimasakti Punya Lengan Tersembunyi



Para astronom mendeskripsikan galaksi Bimasakti sebagai galaksi spiral, lebih kurang berbentuk seperti obat nyamuk bakar. Bimasakti mempunyai pusat galaksi yang diibaratkan serupa cawan dan lengan-lengan berupa struktur melingkar yang keluar dari pusat galaksi.
Jumlah pasti lengan spiral Bimasakti hingga saat ini belum diketahui. Namun, observasi pada 2008 oleh Robert Benjamin dari University of Wisconsin menyatakan Bimasakti memiliki dua lengan utama, lengan Perseus dan lengan Scutum-Centaurus. Lengan-lengan lain disebut lengan minor, di antaranya lengan Carina-Sagitarius dan lengan Orion-Cygnus.
Kini, Thomas Dame dan Patrick Tadeus dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics berhasil mengidentifikasi lengan baru Bimasakti yang tadinya tersembunyi. Lengan itu berada di ujung lengan Scutum-Centaurus, berjarak lebih kurang 50.000 tahun cahaya dari pusat galaksi.
Astronom mengidentifikasi lengan baru itu dengan teleskop di Massachusets, Amerika Serikat. Penemuan baru ini adalah lompatan dalam pemahaman tentang struktur Bimasakti. Di samping itu, dengan adanya lengan baru dan sedikit ekstrapolasi, bentuk Bimasakti menjadi spiral sempurna.
Matahari, Bumi, dan tata Surya terletak di dekat lengan utama Perseus, atau lebih tepatnya di dekat Orion Cygnus. Jarak Matahari dari pusat galaksi sekitar 25.000 tahun cahaya.
Sebagaimana diketahui, ada kehidupan di Bumi yang menjadi salah satu komponen tata surya. Jika di lengan Orion Cygnus terdapat kehidupan, mungkinkah juga ada kehidupan di lengan baru Bimasakti yang ditemukan?
Virginia Trimble dari University of California yang mempelajari evolusi galaksi sayangnya menyatakan bahwa lengan baru tersebut bukan tempat yang baik untuk hidup. Seperti dikutip Dailymail, Jumat (28/10/2011), Trimble mengatakan, jika memang ada tempat yang mendukung kehidupan, mungkin tempat itu ada di dekat pusat galaksi. Menurut dia, di sanalah planet kaya logam seperti Bumi terdapat sehingga relatif bisa mendukung kehidupan. 

Sumber : http://sains.kompas.com/read/2011/10/31/1259459/Bimasakti.Punya.Lengan.Tersembunyi

Minggu, 23 Oktober 2011

FISIKA

Teruntuk teman-teman yang memerlukan buku fisika dasar, teman- teman bisa download disini dengan mengklik judul bukunya. file dalam bentuk pdf.



























Johannes Kepler (1571- 1630)


Johannes Kepler adalah ahli astronomi dan matematika dari Jerman, penemu hukum Kepler, teleskop Kepler, teori cahaya, dan bapak astronomi modern. Kepler dilahirkan di Well der Stadt, Wurttemberg, Jerman, pada tanggal 27 Desember 1571.
Masa kecil Kepler penuh dengan penderitaan.  Ia lahir sebelum waktunya. Kepler tak terurus,badannya kurus, lemah, dan sakit-sakitan. Ayahnya tak mau memberinya makan. Untunglah kepala desa Wurttemberg baik hati. Kepler dijadikan anak angkat dan dibiayai sekolahnya.
Pada tahun 1593, Kepler menjadi guru. Dalam usia 25 tahun, Kepler menerbitkan bukunya yang berjudul The Cosmic Mystery (1596) dalam bahasa Latin. Dengan karyanya ini, Kepler menjadi ilmuwan terkenal pertama yang secara publik mendukung Corpenicus. Karyanya ini juga menarik perhatian Tyco Brahe. Kepler kemudian diangkat menjadi pembantunya di observation Benatek, Praha.
Sebagai pengganti Tycho Brahe, Kepler mewarisi setumpuk besar catatan hasil pengamatan cermat ihwal planet-planet yang telah digarap Tycho bertahun-tahun. Karena Tycho --astronom besar terakhir sebelum diketemukan teleskop-- juga pengamat yang hati-hati dan teliti yang pernah dikenal dunia, catatan-catatan itu teramat besar harganya. Kepler percaya bahwa catatan analisa matematika Tycho yang cermat memungkinkannya menentukan kesimpulan bahwa teori gerakan planet adalah benar: teori heliocentris Copernicus; teori geocentris Ptolemy yang lebih lamaan; atau bahkan teori ketiga yang dirumuskan Tycho sendiri. Tetapi, sesudah bertahun-tahun melakukan sejumlah perhitungan yang cermat, Kepler dengan rasa cemas menemukan bahwa pengamatan Tycho tidaklah konsisten dengan teori-teori yang mana pun juga!

Akhirnya Kepler menyadari bahwa masalahnya adalah: dia, seperti juga Copernicus dan Tycho Brahe dan semua astronom klasik telah menduga bahwa orbit keplanetan terdiri dari lingkaran-lingkaran atau gabungan dari lingkaran-lingkaran. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa orbit keplanetan tidaklah melingkar, melainkan agak oval, ellips.

Bahkan sesudah menemukan pemecahan pokok, Kepler masih harus menghabiskan waktu berbulan-bulan membenamkan diri dalam kerja hitung-menghitung yang rumit dan melelahkan untuk meyakinkan bahwa teorinya memuaskan pengamatan Tycho. Buku besarnya Astronomia Nova, diterbitkan tahun 1609, menyuguhkan dia punya bagian pertama dari dua hukum pergerakan planet. Hukum pertama menegaskan tiap planet bergerak mengitari mentari dalam orbit oval atau ellips dengan matahari pada satu fokus. Hukum kedua menegaskan bahwa planet bergerak lebih cepat ketika berada lebih dekat dengan matahari; kecepatan planet berbeda begitu rupa bahwa garis yang menghubungkan planet dan matahari selama perputaran, meliwati bidang yang sama luasnya dalam jangka waktu yang sama. Sepuluh tahun kemudian Kepler mengeluarkan hukum ketiganya: makin jauh jarak sebuah planet dari matahari, makin perlu waktu lebih lama untuk menyelesaikan perputarannya atau kwadrat kala perputaran planet-planet berbanding lurus dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dengan matahari.

Hukum Kepler, dengan menyuguhkan gambaran pokok yang komplit dan tepat tentang gerak planet-planet mengitari matahari, memecahkan masalah utama bidang astronomi, yang bahkan oleh orang-orang genius seperti Copernicus dan Galileo terliwatkan. Tentu saja, Kepler tidak menjelaskan mengapa planet-planet bergerak pada orbitnya seperti itu; masalah ini terpecahkan di abad berikutnya oleh Isaac Newton. Tetapi, hukum Kepler merupakan pendahulu vital buat sintesa besar Newton. ("Jika saya melihat lebih dulu dari orang lain," begitu pernah Newton bilang, "ini akibat saya berdiri di atas pundak-pundak para raksasa." Tak salah lagi, Kepler adalah salah satu dari raksasa-raksasa itu yang dimaksud Newton).
 Sumbangan Kepler kepada astronomi hampir bisa disejajarkan dengan Copernicus. Dan sesungguhnya, dalam beberapa hal hasil karya Kepler bahkan lebih mengesankan. Dia lebih orisinal,, dan kesulitan matematika yang dihadapinya bagaikan menggunung. Teknik matematika pada saat itu tidaklah sesempurna perkembangannya seperti halnya kini, dan saat itu tak ada mesin kalkulator yang menolong Kepler dalam tugas penghitungan-penghitungannya.

Ditinjau dari sudut arti penting karya Kepler, adalah mengherankan bilamana pada mulanya hampir tidak digubris orang, bahkan oleh seorang ilmuwan besar seperti Galileo. (Galileo tak ambil perhatian hukum Kepler sungguh mencengangkan karena kedua orang itu saling berkorespondensi satu sama lain, dan juga karena hasil karya Kepler dapat menolong menguji teori Ptolemy). Tetapi bila yang lain-lainnya agak lambat menghargai ketinggian hasil karya Kepler, ini dapat difahami oleh Kepler sendiri.

Dalam nada letupan kegembiraan Kepler menulis "... Buku telah kutulis! Telah kupersembahkan sesuatu anugerah kesenangan yang suci. Dia akan dibaca baik oleh orang sejamanku atau oleh generasi sesudahku. Aku tidak peduli. Bisa jadi buku itu harus menunggu 100 tahun untuk menjumpai seorang pembaca, seperti halnya Tuhan menunggu 6000 tahun seseorang yang bisa memahami kebesaran karyanya."

Meskipun angsur-berangsur, sesudah melampaui beberapa dekade, arti penting hukum Kepler menjadi jelas buat dunia ilmu pengetahuan. Pada abad berikutnya pendapat-pendapat yang memihak teori Newton berkata bahwa hukum Kepler disimpulkan dari teori-teori itu. Pendapat sebaliknya mengatakan, hukum gerak Newton, hukum gaya berat Newton disimpulkan dari hukum Kepler. Tetapi, untuk berbuat demikian memerlukan teknik itu, Kepler, cukup mudah menangkap permasalahannya dan mengajukan pendapat bahwa gerakan planet dikontrol oleh tenaga yang datang dari matahari.

Sebagai tambahan hukum gerakan planet-planet, Kepler menyumbangkan berbagai ihwal kecil di bidang astronomi. Dia juga membuat sumbangan penting mengenai teori optik. Di akhir-akhir umurnya --sayang sekali-- dia diganggu oleh masalah pribadi. Jerman merosot jadi kacau karena "Perang tiga puluh tahun" dan jarang orang yang bisa lolos dari kesulitan-kesulitan serius.

Salah satu masalah adalah soal nafkah. Kekaisaran Romawi Suci lambat dalam pembayaran gajinya, walau dalam keadaan yang tidak gawat. Dalam keadaan perang yang kacau-balau, gaji Kepler ditunggak terus. Karena Kepler kawin dua kali dan punya dua belas anak, kesulitan duit ini betul-betul berat. Masalah lain menyangkut bundanya yang di tahun 1620 ditahan dengan tuduhan jadi "dukun sihir." Kepler banyak buang waktu hingga akhirnya sang ibu bisa dibebaskan tanpa mengalami siksaan.

Tycho Brahe (1546- 1601)


            Tycho Brahe lahir di skane, Denmark (sekarang menjadi wilayah Swedia), pada 14 Desember 1546 dan meninggal di Praha, Bohemia (sekarang Ceko), 24 Oktober 1601 setelah terserang penyakit selama 11 hari pada umur 54 tahun, dia dikuburkan dengan suatu upacara dalam gereja tyn. Tycho merupakan anak kedua dan putra tertua pasangan otto brahe dan Beate Bille.
Ia  adalah seorang bangsawan Denmark yang terkenal sebagai astronom. Ia memiliki sebuah observatorium yang dinamai Uraniborg, di Pulau Hven, di Selat Oresund yang menjadi lembaga penelitiannya dulu.  Tycho adalah astronom pengamat paling menonjol di zaman pra-teleskop. Akurasi pengamatannya pada posisi bintang dan planet tak tertandingi pada zaman itu.
Untuk penerbitan karyanya, Tycho memiliki mesin cetak dan pabrik kertas. Asistennya yang paling terkenal adalah Johannes Kepler. Setelah kematiannya, catatan-catatannya mengenai gerak Planet Mars membuat Kepler menemukan tiga hukum pergerakan planet yang menyokong teori heliosentris.

Peranan Tycho Brahe Terhadap Perkembangan Ilmu Fisika.
Suatu konjungsi Saturnus dan Yupiter yang terjadi pada bulan Agustus 1563 yang sempat diamati oleh tycho menjadi titik awal karirnya. Meskipun peralatan yang digunakannya hanya sepasang kompas, dia mampu mencatat hasil pengamatannya. Tycho meninggalkan Leipzig pada Mei 1565 dan pergi ke Copenhagen melalui Wittenberg dan Rostock. Selama di Rostock, Tycho bertemu dengan beberapa orang yang sedang memperdalam astrologi, kimia, obat-obatan dan matematika. Dia sempat mengamati gerhana bulan yang terjadi pada 28 Oktober 1566 dan gerhana matahari sebagian yang terjadi pada 9 April 1567. Segera setelah itu dia melakukan berbagai pengamatan, meskipun tanpa peralatan yang lengkap.
Pada 14 Mei 1568, Raja Frederick II dari Denmark secara resmi mengizinkan Tycho untuk melakukan pengamatan di tempat kosong dalam gereja di Roskilde, Zealand. Tycho masuk Universitas Basel pada tahun 1568 dan pada awal tahun 1569 dia pergi ke Augsburg untuk menemui pakar astronomi Cyprian Kleowitz. Di Augsburg Tycho mempunyai teman yang banyak membantunya dalam membuat sebuah quadrant berjari-jari sekitar 76,5 inchi.
Pada tanggal 11 November 1572, Tycho Brahe mencatat kemunculan bintang baru yang sangat terang yang terdapat dalam konstelasi Cassiopeia, bintang itu kemudian diberi nama “ nova “ oleh Tycho.
Dari hari ke hari kecemerlangan bintang meningkat dengan cepat sehingga dapat dilihat pada siang hari.
Kemunculan "nova" di rasi Cassiopeia tersebut dicatat dengan teliti oleh Tycho Brahe. Kecemerlangan "nova" menyamai terangnya planet Yupiter yang ketika itu berada di rasi Pisces. Tak lama kemudian kecemerlangannya menyamai terangnya planet Venus ketika matahari tenggelam. Padahal, Venus merupakan obyek langit paling terang setelah Matahari dan Bulan. Kecemerlangan "nova" terus meningkat hingga terlihat pada siang hari. Akhir November kecemerlangannya meredup dan berubah warna dari putih menjadi kuning, oranye, lalu merah dan akhirnya hilang pada Maret 1574. Kata "nova" kini menjadi istilah untuk fenomena ledakan bintang. Tatkala sebuah bintang meledak, maka kecemerlangannya akan meningkat hingga ratusan sampai ribuan kali dari kecemerlangan semula. Kecemerlangan maksimum umumnya dicapai dalam orde jam dan kemudian meredup kembali dalam beberapa hari. Apabila kecemerlangan sebuah bintang yang meledak mencapai jutaan bahkan miliaran kali dari kecemerlangan semula disebut Supernova. Kecemerlangannya dapat bertahan hingga beberapa bulan.
Berdasarkan catatan kecemerlangan "nova" yang dibuat Tycho Brahe, astronom mengidentifikasi ledakan bintang yang terjadi ketika itu merupakan sebuah Supernova dan dikelompokkan sebagai Supernova tipe Ia, biasa ditulis SNe Ia. Sisa ledakan pertama kali ditemukan 1960 di pelat foto teleskop Mt Palomar sebagai sebuah nebula yang redup.  SNe Ia dicirikan dengan keberadaan garis absorbsi Si II (silikon yang terionisasi satu kali) di sekitar 6150Å ketika kecemerlangannya mencapai maksimum. Kecemerlangan supernova dapat lebih dari 1 miliar kecemerlangan matahari.
Ledakan SNe Ia, secara teori, dimungkinkan berasal dari dua mekanisme yang berasal dari dua sistem bintang ganda yang berbeda. Mekanisme pertama berasal dari pasangan bintang katai putih (bintang dengan massa seperti Matahari dan radius seukuran Bumi) dengan bintang seperti Matahari. Bintang yang seukuran Matahari tersebut mengalirkan materinya ke katai putih. Akumulasi materi yang terjadi mengakibatkan bintang katai putih melampaui batas massa, disebut sebagai batas Chandrasekar, yang diperkenankan untuk sebuah bintang katai putih. Apabila hal tersebut terjadi, muncullah ledakan termonuklir yang mahadahsyat. Mekanisme kedua berasal dari pasangan ganda bintang katai putih yang bergabung. Penggabungan kedua bintang katai putih tersebut diakibatkan oleh pancaran radiasi gravitasi yang mengakibatkan jarak kedua bintang semakin mendekat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain kedua bintang bergerak spiral satu sama lain dan akhirnya bergabung. Akibat dari penggabungannya adalah massa katai putih yang baru akan melampaui batas massa yang diperkenankan untuk sebuah bintang katai putih. Hal itu memicu terjadinya ledakan termonuklir yang mahadahsyat.
Pengamatan pada sisa ledakan supernova Tycho yang dilakukan oleh Tim Astronom Internasional yang diketuai oleh Piuz Lapuente pada 28 Oktober 2004 berhasil menemukan keberadaan sebuah bintang seusia matahari. Bintang ini sedang dalam tahap membesar menjadi bintang raksasa merah. Bintang tersebut diidentifikasi sebagai bintang seperti bintang katai putih yang selamat dari ledakan SNe. Diperkirakan bintang tersebut serupa dengan bintang-bintang di cakram Galaksi Bima Sakti. Besarnya kecepatan gerak bintang berasal dari kecepatan orbitnya yang dipertahankan ketika sistem bintang ganda itu pecah. Hal ini bagaikan sebuah batu yang dilempar dengan menggunakan kain pelempar.   Meskipun telah terjadi 432 tahun lalu, dengan menggunakan astronomical forensic astronom berhasil menemukan salah satu korban ledakan termonuklir di lokasi ledakan yang sekarang berupa gelembung gas panas sangat besar dan terus mengembang dengan kecepatan 9.000 km/detik, disebut Sisa Ledakan Supernova Tycho.
Meski temuan tersebut menjelaskan bahwa ledakan SNe Ia yang dicatat oleh Tycho bermula dari sistem bintang ganda yang terdiri dari bintang seperti Matahari yang menghantarkan massa ke bintang katai putih, bukan berarti mekanisme kedua tidak mungkin terjadi. Mekanisme kedua dari ledakan SNe Ia yang berasal dari penggabungan dua bintang katai putih tetap merupakan kemungkinan lain yang dapat terjadi.
Peningkatan kecemerlangan yang tinggi pada peristiwa supernova memungkinkan astronom untuk menjadikan peristiwa SNe Ia sebagai "lilin" pemandu arah. Dengan mengukur kecemerlangan ledakan di suatu galaksi dan membandingkannya dengan kecemerlangan SNe Ia yang telah diketahui, astronom dapat menentukan jarak galaksi tersebut dari Bumi. Di samping itu, ledakan Sne Ia dapat dipergunakan untuk menentukan laju percepatan pengembangan alam semesta. Dengan kata lain, pengamatan ledakan SNe Ia memberi kontribusi berarti dalam pengembangan kosmologi modern, dan pembelajaran ilmu Fisika dalam bidang Astronomi.
Peralatan utama yang digunakan Tycho dalam menetapkan posisi-posisi bintang dan planet adalah quadrant, suatu alat yang mempunyai sudut yang dapat di atur dan sebuah penunjuk yang berputar sekitar pusatnya.
Pengukuran yang dilakukan Tycho terhadap nova adalah dengan cara mengukur sudut-sudut. Secara khusus dapat dijelaskan bahwa dia mengukur sudut diantara garis pandang nova dan garis pandang pada sebuah bintang lain yang posisinya telah diketahui.
Tycho mencatat bahwa sudut di antara nova dan bintang alpha Cassiopeiae tidak berubah ketika pengamatan-pengamatan dilakukan dari titik-titik A dan B. Tycho menyimpulkan bahwa nova sangat jauh, lebih jauh daripada bulan, atau mungkin dari daerah bintang-bintang tetap yang lain.
 Quadrant

Untuk mengukur sudut diantara arah nova dan bintang. Tycho menggunakan sextant yang di buatnya sendiri. Alat itu terdiri atas dua lengan kayu yang diawetkan sehingga kurang berpengaruh terhadap cuaca dan lebih ringan daripada logam, dihubungkan dengan sebuah engsel tembaga serta sebuah busur 30 derajat yang dapat diatur setiap menitnya. Lengan yang satu terikat, dan lainnya dapat diatur sepanjang busur. Sudut diantara arah dua bintang itu diukur melalui dua pengamat yang melihat secara serempak sepanjang lengan-lengannya. Tycho melukiskan peralatannya ini dalam dua buah bukunya masing-masing “mechanica” dan “progymnasmata”, yang ditulisnya sendiri.

Sextant Tycho
Untuk meyakinkan bahwa pengamatan yang dilakukan berada dalam posisi yang sama, Tycho membiarkan peralatannya tetap terpasang seperti dalam posisi pengamatan. Dia mengukur jarak nova dari 9 buah bintang dalam gugus cassiopeia, dia tidak menemukan variasi di antara pengamatan-pengamatan itu. Tycho mengamati bintang itu sampai akhir Maret 1574 di saat ia tidak kelihatan lagi. Pada bulan Februari 1576 raja Frederick II memberikan izin kepada Tycho untuk menggunakan pulau Hven sebagai tempat penyelidikan astronominya. Di pulau yang luasnya sekitar 2000 hektar, pada ketinggian 100 feet dari permukaan laut, Tycho mendirikan Urainborg (istana angkasa), sebuah gedung besar yang menjadi rumah dan tempat pengamatannya selama 20 tahun. Dia melakukan satu kali pengamatan terhadap planet Mars pada Oktober dan memulai pengamatan terhadap matahari pada Desember 1576.
Urainbor
Di observatoriumnya inilah ia melakukan pengamatan komet pada tahun 1577, tepatnya 23 November 1577. Banyak orang berpendapat bahwa komet, seperti juga nova sebelumnya, adalah fenomena yang terjadi pada atmosfer Bumi. Dan sekali lagi Tycho membuktikan bahwa komet itu bukan seperti yang dikira. Komet adalah sebuah benda langit yang terletak jauh di belakang Bulan atau jauh di luar atmosfer bumi. Kedua hasil pengamatan Tycho tersebut memberikan pengaruh besar terhadap dunia astronomi dan filosofi saat itu. Kepercayaan yang dianut banyak orang saat itu adalah bahwa area langit tempat bintang-bintang berada merupakan tempat yang keadaannya selalu tetap, tanpa perubahan sejak era penciptaan. Hasil pengamatan Tycho terhadap nova itu kemudian diterbitkan dalam buku berjudul De Stella Nova yang membuatnya terkenal di seluruh Eropa, sedangkan hasil pengamatannya tentang komet baru terbit setelah ia meninggal dunia.
    

FISIKA MATEMATIKA

Bagi teman-teman yang membutuhkan referensi fisika matematika, silahkan klik pada tautan di bawah ini :





Ada Gunung Tinggi di Asteroid Vesta

Asteroid ternyata bukan hanya bongkahan batu besar sisa pembentukan tata surya 4,5 miliar tahun yang lalu. Citra wahana antariksa Dawn yang diambil pada awal Oktober lalu menunjukkan, asteroid Vesta memiliki gunung setinggi 24 kilometer di kutub selatannya.
Gunung di asteroid Vesta tersebut lebih tinggi daripada gunung apa pun yang ada di Bumi, termasuk Gunung Mauna Loa di Hawaii yang memiliki tinggi 9 kilometer jika dihitung dari dasar laut. Padahal, diameter Vesta hanya 530 kilometer atau sekitar setengah dari Pulau Jawa.
Dengan ketinggian itu, gunung di Vesta merupakan yang tertinggi kedua di tata surya, setelah Gunung Olympus di Planet Mars yang memiliki ketinggian hingga 25 kilometer.
Dawn merupakan wahana antariksa milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Wahana ini diluncurkan pada 27 September 2007. Dawn mendekati Vesta sejak bulan Mei dan mulai mengitari Vesta pada pertengahan Juli.
Misi itu bertujuan mengumpulkan informasi tentang obyek-obyek di Sabuk Asteroid, yaitu daerah antara Planet Mars dan Jupiter. Fokus misi ditujukan untuk mengamati asteroid Vesta dan planet katai Ceres.
Hasil pencitraan Dawn menunjukkan permukaan Vesta lebih kasar dibandingkan dengan asteroid lainnya. Vesta memiliki lebih banyak kawah, bukit, pegunungan, tebing, ataupun palung dibandingkan obyek-obyek lain di Sabuk Asteroid.
Kawah-kawah di bagian utara Vesta lebih banyak jumlahnya dan lebih tua umurnya dibandingkan yang ada di belahan selatan. Umur kawah di bagian utara sekitar 4 miliar tahun, sedangkan yang di sisi selatan antara 1 miliar tahun dan 2 miliar tahun.
Berbagai temuan Dawn tentang Vesta itu dipresentasikan dalam pertemuan bersama Kongres Ilmu Keplanetan Eropa (EPSC) dan Divisi Ilmu Keplanetan, Komunitas Astronomi Amerika (AAA) di Nantes, Perancis, 2 Oktober lalu.
Adapun kawah-kawah tersebut merupakan hasil dari tabrakan dengan asteroid lain ataupun tumbukan dari benda-benda langit lain. Tubrukan dan tumbukan yang menghasilkan kawah-kawah di bagian utara Vesta berasal dari benturan yang terjadi saat awal pembentukan Vesta.
Pemimpin kelompok pemetaan Vesta dengan menggunakan spektrometer dari misi Dawn, Angioletta Coradini, mengusulkan agar kawah terbesar pada bagian selatan Vesta dinamai Rheasilvia, ibu para biarawati Vesta dalam mitologi Romawi, sekaligus ibu Romulus dan Remus, pendiri kota Roma.
Persatuan Astronom Internasional (IAU) telah menerima usulan itu, termasuk nama ke-13 biarawati Vesta untuk digunakan pada kawah-kawah lainnya.
Aktivitas geologi
Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Suryadi Siregar, mengatakan, terbentuknya gunung di Vesta menunjukkan adanya aktivitas geologi di dalam asteroid tersebut. Bukan sekadar gumpalan batu besar belaka.
Aktivitas geologi di dalam Vesta terjadi akibat adanya gaya pasang surut antara Matahari, Jupiter, dan Vesta. Gaya tarik Matahari dan Jupiter yang berlangsung secara kontinu dan melawan gaya gravitasi Vesta membuat inti asteroid akhirnya robek dan meleleh menjadi magma.
Magma yang keluar dari kulit Vesta tersebut menghasilkan lava yang mengalir keluar dari kawah gunung. Suhu permukaan Vesta yang minus 33 derajat celsius hingga minus 3 derajat celsius membuat lava di sana cepat mendingin dan mengendap.
”Tumpukan lava inilah yang membuat permukaan gunung di Vesta terus meninggi,” ujar Budi Dermawan, dosen Astronomi ITB lainnya. Tumpukan lava ini bersifat basal, sama seperti batuan di sekitar gunung berapi di Bumi.
Meski demikian, karakteristik magma Bumi dan Vesta tidaklah sama walaupun terbentuk dari materi yang sama. Materi pembentuk Bumi dan Vesta sama-sama berasal dari materi pembentukan tata surya. Perbedaan karakteristik itu terjadi karena proses-proses yang melingkupi semasa evolusi Bumi dan Vesta berbeda.
Kehadiran gunung api di Bumi memberikan kesuburan bagi tanah di sekitarnya. Oleh karena itu, di sekitar gunung api umumnya menjadi pusat-pusat kehidupan yang mempunyai aneka ragam jenis makhluk hidup.
Namun, kondisi di Vesta berbeda. Di sekitar gunung yang ditemukan belum ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan dalam tingkat apa pun. Tidak adanya atmosfer di Vesta membuat pelapukan batuan menjadi tak mungkin.
Vesta tak memiliki atmosfer karena kecilnya gaya gravitasi yang dimiliki. Selain itu, jarak Vesta dari Matahari yang berkisar antara 322 juta kilometer dan 383 juta kilometer atau rata-rata sekitar 2,3 kali jarak Matahari-Bumi membuat sangat sedikit radiasi Matahari yang bisa diterima Vesta.
Rendahnya tingkat radiasi ini membuat Vesta tak mampu menahan molekul-molekul udara yang tersisa pada awal pembentukannya sehingga terlepas begitu saja ke luar angkasa.
Menurut Suryadi, keberadaan gunung di planet atau satelit di luar Bumi tidak dapat langsung dianggap di sekitar gunung itu ada kehidupan. Penelitian terhadap gunung-gunung di Io, satelit Jupiter, yang sudah sejak lama dilakukan belum menemukan adanya tanda-tanda kehidupan

sumber : http://sains.kompas.com/read/2011/10/19/09092714/Ada.Gunung.Tinggi.di.Asteroid.Vesta

Sinar Laser dapat Menimbulkan Hujan

Laser ternyata berpotensi digunakan untuk menciptakan hujan. Hal ini diungkapkan oleh Jerome Kasparian, fisikawan dari University of Geneva. Dengan hasil penelitian ini, daerah kering bisa berharap hujan lebih dan ilmuwan pun mendapat teknik baru membuat hujan yang lebih efektif dari teknik modifikasi iklim.

Dalam penelitiannya, Kasparian menggunakan laser untuk mengontrol kelembaban. Ilmuwan menemukan bahwa laser bisa memicu tumbuhnya tetesan air hujan pada kelembaban lebih rendah, sekitar 70 persen. "Pada kelembaban tersebut, kondensasi tidak terjadi dalam kodisi natural, di mana dibutuhkan kelembaban 100 persen," kata Kasparian.


Rahasia kerja laser adalah pada kemampuan sinarnya membentuk senyawa asam nitrat di udara. Asam nitrat bisa menjadi "biji" awan, memilih untuk berasosiasi dengan air, bertindak seperti lem sehingga membentuk kumpulan air dalam kondisi yang relatif kering, di mana air mengalami evaporasi.

Untuk bisa diaplikasikan sebagai pencipta hujan, masih perlu beberapa pengembangan. Kasparian mengakui bahwa laser memang bisa menumbuhkan partikel berair. "Namun, saat ini ukurannya terbatas, hanya beberapa mikron. Butuh 10 sampai 100 kali lebih besar untuk memproduksi hujan yang sebenarnya," kata Kasparian.

Asalkan syarat tersebut bisa dipenuhi, penciptaan hujan dengan laser tak akan terlampau sulit. Tak perlu juga sistem laser udara. "Tipe laser yang digunakan selama ini bisa mencapai jarak kerja beberapa kilometer, jadi atmosfer bisa diaktifkan dengan ground based laser," kata Kasparian seperti dikutip Foxnews, Selasa (30/8/2011).
Menurut Kasparian, kombinasi antara teknik laser dan teknik modifikasi cuaca seperti dengan perak iodidan dan dru ice tidak diperlukan. Langkah itu, menurutnya, justru akan kontraproduktif. Partikel akan berkompetisi untuk terkondensasi dan hasilnya tetesan air terlalu kecil, tak cukup untuk menjadi tetesan hujan.
Satu masalah terkait kontrol cuaca seperti dengan laser adalah, akankah penciptaan kelembaban di satu tempat akan mencuri kelembaban di tempat lain. Menanggapi hal ini, Kasparian mengatakan, "Laser hanya memungkinkan kondensasi bagian kecil dari kelembaban di udara." Jadi, risikonya tak terlampau serius. Penemuan Kasparian ini dipublikasikan di Nature Communication, 30 Agustus 2011.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/2011/09/01/23502721/Ciptakan.Hujan.dengan.Sinar.Laser